Ustadz Muhammad Zali, Dai Mengabdi di Delpenang Pedalaman Sampang
USIA muda tak melulu dihabiskan bersenang dengan teman tongkrongan. Ada banyak pilihan menikmati masa muda dengan tetap penuh gembira. Begitulah jalan pengabdian yang dipilih oleh Ustadz Muhammad Zali.
Di saat anak muda seusianya barangkali lebih memilih merantau memburu pekerjaan yang bergaji besar dan jabatan mentereng, Zali justru malah memilih mengabdi di sebuah desa di pedalaman Sampang.
Anak muda 27 tahun ini memilih jalan dakwah sebagai garis pekerjaan dan tanggung jawabnya selama ini. Sejak kecil, dia memang telah memiliki cita-cita untuk menjadi dai.
Zali asli Madura. Dia lahir di Desa Sana Dejeh, Kecamatan Pasean, Kabupaten Pamekasan. Semasa sekolah dari SD hingga SMP dihabiskan di kampung halamannya itu. Barulah setelah masuk SMA, ia nyantri di Ponpes Hidayatullah Pamekasan.
"Nyantri di Ponpes Hidayatullah Pamekasan luar biasa. Banyak hal yang saya dapatkan, baik ilmu maupun pengalaman," katanya dalam keterangannya kepada media Posdai beberapa waktu lalu.
Setamat SMA, Zali lalu melanjutkan perburuan intelektualnya ke jenjang perguruan tinggi. Pada akhirnya, anak dari Muhammad Sahuddin dan Siti Salamah ini berhasil mendulang gelar sarjana di STAI Lukmanul Hakim Ponpes Hidayatullah Surabaya pada tahun 2018.
Setelah menamatkan pendidikan S1 di perguruan tinggi di kota Pahlawan Surabaya itu, Zali mendapatkan SK tugas mengabdi di Pesantren Hidayatullah Sumenep, Madura.
Awal tugas di Pesantren Hidayatullah ujung timur pulau Madura itu, Zali memiliki tugas pertama menjadi pengasuh santri SMP.
Selama mengasuh santri, ia juga harus mengawal santri setiap hari selama 24 jam lamanya. Sejak bangun tidur hingga tidur kembali. "Ini pekerjaan tidak sederhana, tugas yang cukup menguras energi," katanya.
Menjadi dai dengan status sebagai pengasuh santri, baginya memiliki tantangan tersendiri, pasalnya keadaan demikian membuatnya semakin sadar akan pentingnya kehidupan dengan nuansa yang Islami.
Tidak hanya sebagai pengasuh dan guru ngaji, tugas lainnya yang diemban saat itu adalah sebagai guru fiqih di sekolah SMP Lukmanul Hakim, Sumenep Madura.
“Alhamdulillah saat itu saya dapat menikmati tugas yang diberikan kepada kami untuk lebih aktif dalam mengemban ilmu syar’I kepada para santri, dan itu adalah salah satu pengelaman luar biasa," ujarnya.
Tidak hanya sebagai guru, Zali aktif dalam gerakan dakwah berbasis ekonomi, saat itu ia mendapatkan amanah sebagai tim marketing Sakinah Mart yang dimiliki oleh pesantren.
Pengalaman yang didapatkannya pun kian menempa dan mendewasakan dirinya tentang arti sebuah tugas panjang sebagai santri pengabdian yang siap tugas dimanapun dan kapanpun.
Merintis Dakwah di Sampang
Tiga tahun pengabdian di Pesantren Hidayatullah Sumenep, tepat pada awal tahun 2021, kembali Zali mendapatkan amanah baru untuk mengembangkan dakwah Hidayatullah Sampang.
Meskipun asli Madura, namun bagi Zali nama Sampang adalah sebuah tempat yang sangat baru. Dirinya belum pernah menginjakkan kaki di daerah ini, kecuali hanya sebagai tempat transit ketika melakukan perjalanan pendidikan dahulu.
"Sampang bagi saya adalah seperti seorang tanah kosong yang sudah banyak tanamannya," katanya.
Apa maksudnya tanah kosong banyak tanamannya? Menurut Zali, Sampang adalah sebuah kabupaten yang sudah terlalu banyak pesantren, namun ia malah diminta untuk hadir ke Sampang agar dapat menghadirkan Pesantren Hidayatullah di sana.
Dia mengakui, tantangan dakwah di sini jauh berbeda dengan yang ada d pulau Madura lainnya.
“Sebenarnya saya betul betul merasa berat, namun karena ini sebuah tugas mulia, Bismillah, saya berangkat," ujar anak ke pertama dari bersaudara ini.
Bersama dengan sahabatnya yang telah terlebih dahulu datang ke Sampang, Ust. Zali memulai debut dakwahnya kembali di tempat tugas yang baru ini. Selama di Sampang, ia hanya berdua berdakwah di sana.
Saat itu Zali masih belum menikah. Lalu, pada 5 bulan pengabdian di Sampang, ia merasa membutuhkan teman seperjuangan. Ia pun mulai memikirkan ingin berkeluarga.
“Alhamdulillah 5 bulan tugas di Sampang, saya menikah. Karena kami merasa sangat membutuhkan teman seperjuangan yang bisa membuat hati dan jiwa ini tenang dalam tugasnya," tutur dengan senyum khasnya.
Suami Kholifatul Hasanah ini betul betul harus kerja keras dan banting tulang serta peras keringat untuk mewujudkan cita-cita hadirnya sebuah Pesantren Hidayatullah di Sampang ini.
Mendirikan Rumah Qur’an
Dalam memulai dakwahnya di Sampang, Ust. Zali merintis Rumah Qur’an dengan memanfaatkan sebuah mushalla usang yang sudah lama tidak terpakai.
Dari mushalla yang hanya ukuran 5 x 4 meter tersebut, dia bersama sahabatnya secara bergantian mengawal Rumah Qur’an di Sampang.
Awalnya, hanya 3 orang santri yang berminat untuk diajarkan baca Qur’an di Rumah Qur’an yang bernama Nurul Jannah ini. Namun perlahan santri yang berminat semakin banyak dari satu hari ke hari lainnya. Hingga saat ini terdapat 25 santri yang dibina oleh mereka.
Tidak hanya dari sisi penyerapan santri yang menjadi tantangan dakwahnya, namun yang tak kalah sedihnya adalah bahwa ternyata mushalla tersebut adalah lokasi langanan banjir. Setiap hujan agak besar sedikit saja, dipastikan banjir akan menemaninya dalam waktu yang cukup lama.
Tidak hanya itu, musholla tersebut juga tidak memiliki listrik sendiri, ia harus menumpang ke rumah warga.
Bahkan saat itu, tempat wudhu’ pun juga belum ada. Hingga sekarang, musholla yang dibina olehnya tidak memiliki toilet dan kamar mandi.
Kekurangan fasilitas tidak menyurutkan dirinya untuk tetap berdakwah dengan mendirikan Rumah Qur’an di tempat terbatas itu.
Ketika ditanya tentang bagaimana dengan cara menyambung hidupnya selama bertugas di Sampang, Ust. Zali tidak langsung menjawab. Ia hanya melempar senyum sambil mengungkapkan bahwa selama ini ia disupport oleh Hidayatullah Sumenep selama 1 tahun sebesar 1 juta perbulan.
"Alhamdulillah, tetap harus disyukuri, walaupun kami sadar bahwa uang segitu tentu saja tidak cukup untuk hidup kami bersama Istri dalam setiap bulannya," imbuhnya.
Untuk mengirit kebutuhan sehari hari, Zali setiap 2 Pekan sekali pulang ke kampung halamannya di Pamekasan untuk meminta beras dan lauk lainnya. Ia hampir tidak pernah terdengar berkeluh kesah atas kekurangan yang menimpa.*/ybh