Mari Berdakwah karena Risalah Islam untuk Kebaikan Semua
MANUSIA tidak mungkin hidup normal dengan menyendiri. Sudah menjadi fitrahnya untuk bersosialisasi dan hidup dalam kelompok. Atas dasar ini, dalam bahasa Arab manusia disebut al-ins, yang artinya jinak, akrab, ramah, menyenangkan.
Dalam Mu’jam-nya, Raghib al-Ashfahani mengatakan bahwa manusia disebut dengan al-ins karena mereka tidak bisa hidup tanpa saling akrab dan membantu satu sama lain. Kebalikan dari al-ins adalah al-jinn, yang artinya tertutup sehingga memberi kesan misterius, menakutkan, dan samar-samar.
Oleh karenanya, Syariat Islam dibangun di atas asumsi bahwa umat manusia hidup bermasyarakat. Secara nyata Islam memiliki ajaran-ajaran yang mencerminkan sifatnya sebagai agama pedoman hidup bermasyarakat. Misalnya, zakat merefleksikan semangat berbagi dalam konteks komunitas, karena ia diambil dari yang kaya dan diberikan kepada yang miskin diantara mereka.
Islam juga menggariskan apa yang disebut Fiqh Mu’amalah, dimana disana dijelaskan aturan jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, utang-piutang, jaminan, gadai, pailit, dsb.
Ada pula tata-aturan pernikahan, perceraian, pengasuhan anak, hubungan kekerabatan, perwalian, warisan, dll. Lebih jauh, Islam juga mengantisipasi kemungkinan kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga menetapkan aturan tentang hudud dan jinayat, juga jihad dan amar ma’ruf nahi munkar.
Bahkan, shalat yang merupakan hubungan pribadi diantara seorang hamba dengan Tuhannya ternyata lebih besar pahalanya jika dilakukan dengan berjamaah. Dengan kata lain, Islam adalah agama yang secara aktif mendorong tumbuhnya peradaban.
Maka, ajakan untuk menerapkan Islam secara kaffah pada dasarnya adalah ajakan untuk membangun Peradaban Islam, yakni membumikan nilai-nilai Islam dalam seluruh aspek kehidupan; begitu pula sebaliknya.
Di saat bersamaan, institusi kerahiban dan kependetaan tidak dikenal dalam Islam. Demikian pula tradisi-tradisi yang menyertainya, seperti selibat (pantang menikah), vegetarian (pantang memakan yang bernyawa), berpuasa terus-menerus, mengasingkan diri, mengkhusukan diri beribadah, tidak bekerja mencari nafkah, dsb.
Sebagai misal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Menikahlah kalian, karena aku akan berbangga dengan banyaknya kalian di hadapan umat-umat yang lain pada Hari Kiamat nanti, dan jangan seperti para rahib Nasrani.” (Riwayat Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra, dari Abu Umamah. Hadits hasan).
Senada dengannya, telah diriwayatkan dalam sebuah atsar bahwa Umar bin Khattab pernah menasehati para Qurra’ (ahli Al-Qur’an). Beliau berkata, “Wahai para Qurra’, angkat kepala kalian! Betapa jelasnya jalan ini, maka berlomba-lombalah kalian dalam kebaikan, dan jangan menjadi beban pemberat bagi kaum muslimin!” (Riwayat Baihaqi dalam Syu’abul Iman).
Maksudnya, tidak ada alasan lagi untuk tidak bekerja memenuhi nafkah, karena mereka adalah orang yang paling faham terhadap hukum-hukum Allah sehingga semestinya paling tahu bagaimana mencari sumber penghasilan yang halal.
Maka, ‘uzlah (mengasingkan diri) hanyalah pilihan terakhir ketika sudah tidak dapat ditemukan lagi kebaikan dalam pergaulan, dan dirasa lebih aman bila menjauhi keramaian. Bagaimanapun juga, selalu ada kebaikan dan peluang beramal shalih bagi seorang muslim dalam kehidupan sosialnya.
Bila masyarakat itu baik, ia bisa senantisa berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khairaat) dengan sesamanya, namun jika masyarakat itu buruk ia dapat meraih pahala dengan bersikap istiqamah dan menegakkan dakwah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya seorang muslim bila tetap bergaul rapat dengan orang banyak dan bisa bersabar terhadap gangguan mereka adalah lebih baik – dalam riwayat lain: lebih besar pahalanya – dibanding seorang muslim yang tidak bergaul dengan orang banyak dan tidak bersabar terhadap gangguan mereka.” (Riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah, dari Ibnu ‘Umar. Hadits shahih).
Islam Bukan Konsumsi Invidu
Para Nabi dan Rasul mencontohkan semangat membina masyarakat ini secara nyata, walau manifestasi keberhasilan mereka berbeda-beda. Perjuangan mereka menyerukan kebenaran kepada umatnya masing-masing adalah bukti bahwa Risalah Islam bukan untuk konsumsi individual belaka.
Seandainya bertauhid secara pribadi sudah cukup, maka tidak ada perlunya Nabi Nuh berdakwah hampir 1000 tahun lamanya; tidak ada gunanya pula Nabi Ibrahim melawan Raja Namrudz dan harus dicampakkan ke dalam api yang berkobar-kobar; serta sia-sialah seruan Nabi Musa kepada Fir’aun dan kaumnya.
Alhasil, dusta belaka jika dikatakan bahwa Islam tidak memiliki konsep untuk menata peradaban. Diantara semua sistem kepercayaan yang eksis dewasa ini, Islam adalah agama yang secara potensial paling siap memandu kehidupan umat manusia menuju kebahagiaannya. Ini karena ia adalah satu-satunya agama wahyu yang terpelihara orisinalitasnya, sehingga bimbingannya terjamin murni dari Allah Tuhan semesta alam. Sebab, Dialah yang paling tahu apa yang akan membawa kebaikan atau keburukan bagi manusia, yakni makhluk ciptaan-Nya.
Akan tetapi, penting diingat bahwa peradaban yang dianjurkan oleh Islam adalah peradaban yang dilandasi oleh nilai-nilai iman. Islam tidak mendorong umatnya memakmurkan bumi demi menjayakan dunia, namun agar ia menjadi sarana mengabdikan diri sepenuhnya kepada Allah.
Maka, saat tiba di Madinah, yang paling awal dibangun oleh Rasulullah bukanlah rumah pribadi, tetapi masjid. Selama masa itu, beliau menumpang di rumah salah seorang Sahabat, yaitu Abu Ayyub al-Anshari.
Sudah dimaklumi bahwa beliau selalu mendahulukan yang terpenting sebelum lainnya, sehingga didahulukannya pembangunan masjid menunjukkan bahwa masyarakat yang beliau bina ditegakkan di atas fondasi pengagungan kepada syi’ar-syi’ar Allah, bukan kepentingan pribadi.
Masalah ini penting direnungkan, mengingat banyak orang yang “bermain” dan memanfaatkan syariat Islam sebagai kendaraan meraih keuntungan duniawi belaka. Misalnya, ketika sebuah bank yang jelas jelas dimiliki non muslim membuka unit syariah, apakah kita yakin bahwa dia melakukannya demi menjayakan Islam, membangun iman, dan menaati Allah?
Maka, berhati-hatilah, sebab zaman ini penuh dengan fitnah yang samar-samar bentuknya. Wallahu a’lam.*/Ust. M. Alimin Mukhtar