Dakwah Mendidik Manusia adalah Jalan Hidup Kita - Persaudaraan Dai Indonesia | Bersama Dai Membangun Negeri | Posdai.or.id

Jumat, 19 Juli 2024

Dakwah Mendidik Manusia adalah Jalan Hidup Kita

BAGI orangtua muslim, standar keberhasilan sesungguhnya dalam mendidik adalah ketika bisa melahirkan anak yang shaleh. Inilah anak yang aka...


BAGI
orangtua muslim, standar keberhasilan sesungguhnya dalam mendidik adalah ketika bisa melahirkan anak yang shaleh. Inilah anak yang akan membahagiakan orang tua di dunia, menyelamatkannya di akhirat.

Jika ilmu yang menjadi panduan mendidik manusia itu berasal dari orang yang tidak beriman bagaimana mungkin akan lahir anak-anak yang shaleh.

Orang yang tidak beriman itu tidak mengenal Allah Subhanahu wa ta’ala. Ia tidak memahami tujuan Allah Subhanahu wa ta’ala menciptakan manusia. Dan sudah pasti mereka tidak memahami manusia ini dengan baik.

Wahyu yang pertama kali turun yaitu Surat Al-Alaq ayat 1 sampai 5, berbicara tentang penciptaan manusia. Kehadiran manusia di dunia mutlak karena kehendak dan kemauan Allah Subhanahu wa ta’ala.

Tidak ada satupun manusia yang pernah punya keinginan menjadi manusia atau meminta kepada Allah agar dijadikan manusia. Demikian juga Allah Subhanahu wa ta’ala tidak pernah meminta pertimbangan kepada siapapun ketika hendak menciptakan kita.

Allah Subhanahu wa ta’ala juga tidak pernah meminta pendapat atau persetujuan kita sebelum menciptakan kita. Hal itu mustahil terjadi karena pada waktu itu kita belum ada.

Sehingga, bagaimana seharusnya manusia hidup satu-satunya jalan adalah mengikuti kehendak Allah Subhanahu wa ta’ala, pencipta manusia. Perintah yang pertama kali turun adalah “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.” (Al-Alaq [96] : 1).

ٱقْرَأْ بِٱسْمِ رَبِّكَ ٱلَّذِى خَلَقَ

Ayat ini mengisyaratkan bahwa karena segala sesuatu Allah Subhanahu wa ta’ala yang menciptakan, maka segala sesuatu akan benar dan mencapai tujuannya apabila mengikuti kehendak Allah Subhanahu wa ta’ala.

Lantas, bagaimana Allah menciptakan manusia dan bagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala mendidiknya? Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (Islam), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nashrani atau Majusi” (Riwayat Al-Bukhari dan Muslim)

Berbeda dengan Teori Tabularasa John Lock yang menyatakan bahwa manusia lahir dalam keadaan kosong, dalam Islam setiap manusia dilahirkan lengkap dengan sistem yang bekerja sempurna dalam jiwanya. Setiap manusia lahir dalam keadaan fitrah.

Fitrah itu sendiri artinya Islam, bertauhid. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِىٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا۟ بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَآ ۛ أَن تَقُولُوا۟ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَٰفِلِينَ

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Al-A’raf [7] : 172)

Tauhid inilah sumber segala kebaikan, kebenaran, dan keindahan yang senantiasa dirindukan oleh manusia selama hidupnya.

Manusia yang paling ideal adalah manusia yang masih berada dalam keadaan fitrahnya, yaitu sejak Allah Subhanahu wa ta’ala meniupkan ruh ke dalam jasadnya sampai ia dilahirkan ke dunia.

Setelah dilahirkan ke dunia, maka tugas orangtualah untuk menjaga anak agar tumbuh dan berkembang dalam keadaan fitrah.

Maka, tugas mendidik adalah menjaga dan mengembalikan manusia kepada keadaan fitrahnya. Dan, satu satunya cara menjaga fitrah manusia adalah dengan berpegang teguh kepada agama yang lurus yaitu agama Islam.

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِى فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ ٱللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Rum [30] : 30)

Kebanyakan ilmuwan Barat melihat manusia secara keliru dan parsial. Hal ini bisa dipahami karena ilmu mereka lahir dari pandangan hidup yang sekuler dualistik, mengandalkan rasionalisme, dan menolak hal-hal yang bersifat wahyu.

Karl Marx, peletak dasar ideologi Marxisme, memandang manusia sebagai makhluk materi. Menurutnya, materi adalah dasar dari semua realitas. Maka manusia hidup adalah untuk pemenuhan kebutuhan materi.

Sigmund Freud, pengusung aliran psikologi yang disebut psikoanalisa, memandang manusia sebagai makhluk biologis yang digerakkan oleh syahwat. Puncak pencarian manusia adalah pemenuhan kebutuhan seksual.

Pandangan kedua tokoh ini secara umum mewakili cara pandang orang kafir sebagaimana digambarkan Allah Subhanahu wa ta’ala:

وَٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا تَأْكُلُ ٱلْأَنْعَٰمُ وَٱلنَّارُ مَثْوًى لَّهُمْ

“Dan orang-orang yang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang. Dan neraka adalah tempat tinggal mereka.” (Muhammad [47] : 12)

Ketika para ilmuwan itu melakukan penelitian empiris tentang jiwa manusia, yang mereka maksud tentang jiwa itu sebenarnya adalah manifestasi dari hawa manusia. Maka wajarlah kalau kemudian lahir pandangan pandangan tentang manusia yang rendah.

Para ilmuwan Barat mutakhir mencoba untuk merevisi pandangan-pandangan tersebut. Tetapi hasilnya tetap bermasalah karena tetap lahir dari pandangan hidup yang bermasalah.

Allah Subhanahu wa ta’ala menciptakan manusia sebagai makhluk paling sempurna dibandingkan dengan makhluk lain yang diciptakan-Nya. Manusia diciptakan dengan struktur jasmani dan ruhani yang kompleks dan digerakkan oleh sistem yang sempurna bekerja.

Hanya Allah Subhanahu wa ta’ala yang tahu persis keadaan manusia ini, jasmani maupun ruhaninya. Allah juga yang Maha Tahu bagaimana seharusnya mendidik manusia. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

ٱلَّذِى عَلَّمَ بِٱلْقَلَمِ. عَلَّمَ ٱلْإِنسَٰنَ مَا لَمْ يَعْلَمْ

“Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Al-Alaq [96] : 4-5)

Maka Islam adalah pendidikan untuk totalitas manusia. Bukan hanya untuk jasmaninya tetapi juga ruhaninya. Bukan hanya untuk pikirannya tapi juga perasaannya.

Islam menanamkan kebaikan dalam nuraninya dan mendidik nafsunya. Islam memberi panduan pendidikan intelektual, sosial, spiritual, moral, seksual, finansial, seni, dan keindahan.

Islam juga pendidikan untuk seluruh fase kehidupan. Dalam setiap fase kehidupan manusia, Islam memberikan panduan terbaik.

Pendidikan anak dalam Islam dimulai sejak sebelum menikah dengan memilih calon suami atau istri yang shaleh-shalehah yang akan menjadi ayah atau ibu bagi anak-anaknya. Orangtua yang saleh pada umumnya akan melahirkan anak-anak yang saleh.

Islam memberikan panduan bagaimana mendidik anak ketika anak masih di dalam kandungan. Diperintahkan kepada orangtua untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan selalu berdoa agar diberi anak yang shaleh.

Islam memberikan panduan ketika melahirkan anak. Diperintahkan memberi nama yang baik, mencukur rambutnya, mengaqiqahinya. Di masa bayi dan kanak-kanak Islam memberi tuntunan dalam masalah penyusuan, pengasuhan, perwalian, nafkah, dan sebagainya.

Singkatnya, Islam menyertai perkembangan hidup manusia semenjak masih dalam kandungan sampai masa tua.

Dalam semua periode itu Islam telah menetapkan tuntunan terbaik bagi hidup manusia. Tidak ada jenjang kehidupan manusia yang berlalu begitu saja, kecuali Islam mempunyai arahan dan ketentuan di dalamnya.

Islam inilah satu-satunya ajaran yang compatible dengan jiwa manusia. Itulah sistem yang sempurna yang bekerja dalam jiwa manusia.

Karena itu sejak dini, anak harus diajarkan untuk iltizam dengan agamanya. Dan itu berarti bahwa kita harus mempertautkan hatinya kepada Al-Quran.

Di mulai sejak di dalam kandungan, orangtua harus sering perdengarkan Al-Quran karena bayi di dalam kandungan sudah bisa mendengar dan mengenali suara dari luar rahim.

Ketika lahir dan di masa bayi, lantunan ayat-ayat Al-Quranlah yang harus paling sering ia dengar. Di masa kanak-kanak, Al-Quranlah pelajaran pertama dan paling utama. Demikian seterusnya.

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

هُوَ ٱلَّذِى بَعَثَ فِى ٱلْأُمِّيِّۦنَ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُوا۟ عَلَيْهِمْ ءَايَٰتِهِۦ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا۟ مِن قَبْلُ لَفِى ضَلَٰلٍ مُّبِينٍ

“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Al-Jumu’ah [62] : 2)

Maka, tidak bisa disebut pendidikan kalau tidak mengajarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bukan ilmu kalau tidak bersumber atau sejalan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

*) Drs. Shohibul Anwar, MH.I, penulis adalah Ketua Departemen Dakwah dan Penyiaran DPP Hidayatullah dan pembina Persaudaraan Dai Indonesia (Posdai). Artikel dikutip dari kolom Khutbah Jum'at Hidayatullah.or.id

Mitra

Sinergi adalah energi kita, terus berpadu dalam langkah nyata

  • Bersama Dai Bangun Negeri
  • Save Indonesia with Quran, ajak masyarakat hidupkan al-Quran
  • Menjadi dai perekat ukhuwah islamiyah dan ukhuwan insaniyah
  • Keswadayaan bersama mengemban amanah dakwah majukan negeri